Johan, Eni dan Mada
Tahun 1956.
Semilir angin di tanah kosong membuat pria itu termangu. Lahan luas ini nantinya akan berdiri masjid megah, yang katanya diberi nama Istiqlal. "Kamu tahu apa makna Istiqlal?" tanya Johan pada Mada yang duduk di sampingnya.
Mada menggelengkan kepala. Ia bingung akan pertanyaan itu, terlebih pada sikap Johan yang belakangan tampak dingin kepadanya. Minggu lalu ia dan Johan masih sering bercanda tertawa disela-sela kesibukan mereka. Johan adalah pedagang uli bakar dan Mada adalah penjual minum.
"Johan!" panggil Mada lemah.
"Kamu marah ya sama aku?"
"Soal ceritaku kemarin?"
Johan tak langsung menjawab. Ia menatap dalam-dalam wajah Mada. Kemudia perlahan menggeleng sambil mengedarkan pandangannya.
"Lalu kenapa sikapmu dingin padaku?"
"Aku merasakan perubahan pada dirimu."
"Johan, aku tak mengerti jika kau bersikap begini karena ceritaku kemarin."
"Apa alasanmu memusuhiku, kita kan tidak ada ikatan apa-apa," sambung Mada.
"Cukup Mada, aku tak marah kepadamu. Sedikitpun aku tak bisa marah padamu!"
"Bukan keputusanmu untuk menikah yang membuatku merana seperti ini."
"Aku hanya sedih, belum dapat mewujudkan kebahagiaan Eni seperti kebahagiaan yang sekarang kau dapatkan!"
Tahun 1956.
Siang hari berlalu. Angin mulai sejuk menghempas Johan dan Mada. Mereka kembali ke tempat masing-masing tanpa sepatah katapun.