Tuesday, March 24, 2009

Kami mau sekolah tapi nggak ada gurunya!

Rudi M S
SDN Cikoneng, Desa Tugu Utara, Cisarua

Merintis sekolah sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Bahkan menjadi seorang gurupun tak melintas dibenak saya. Namun suatu keadaan yang tak disengaja membuat saya memutuskan untuk mengajar anak-anak agar masa depan mereka cerah. Tak peduli soal upah, yang penting anak-anak dikawasan perkebunan teh bisa sekolah. Soal kelengkapan belajar saya yakin banyak orang yang mau membantu. Ini hanya soal siapa yang memulai.

Sebelum datang ke kawasan perkebunan teh saya bekerja serabutan di kontraktor daerah Cipanas. Kejadian ini bermula ketika saya sedang mengunjungi teman di kawasan perkebunan teh di Rawa Gede, Cisarua pada 1983 akhir. Di sana saya melihat anak-anak yang kerjanya hanya main sepanjang hari. Saya sedih dan bertanya-tanya mau jadi apa mereka nantinya kalau tidak sekolah. Saya sendiri merasakan susahnya hidup menjadi orang tak berpendidikan.

Dalam suatu kesempatan saya hampiri anak-anak yang sedang bermain. Saya tanya apakah mereka mau sekolah. Jawaban yang tak disangka-sangka terlontar dari mereka, dan membuat saya tergugah. “Mau Pak tapi tidak ada gurunya!” ujar mereka polos. Mulai saat itu saya berinisiatif untuk menjadi guru di sana.

Kekhawatiran para orang tua juga ada pada waktu itu, “Pak tidak usah sekolah nanti siapa yang gaji gurunya?” Saya katakan pada masyarakat bahwa mereka tidak perlu khawatir soal biaya sekolah, yang penting mereka mau anaknya sekolah.

Praktis sejak saat itu saya berhenti kerja serabutan dan fokus mengajar. Mulailah pengabdian saya sebagai guru. Karena tidak ada pungutan biaya, uang untuk keperluan sehari-hari saya dapatkan dengan menjadi juru parkir. Bantuan dana dan kelengkapan kegiatan belajar mengajar saya cari hingga ke Jakarta ke kenalan-kenalan saya.

Bantuan dari kepala desa Tugu Utara, Cisarua, bantuan dari perorangan atau keluarga besar, bantuan pemuda-pemuda Karang Taruna dari Jakarta, termasuk dari lembaga pendidikan swasta dan perusahaan nasional maupun internasional. Semuanya memberikan bantuan praktis berupa alat tulis, tas, jas hujan untuk siswa, dan semuanya diberikan secara langsung kepada siswa.

Menjadi sekolah yang diakui pemerintah
Awalnya pada 1984 sekolah rintisan yang masih ‘liar’ ini berlokasi di daerah Rawa Gede, sekitar satu kilometer dari Cikoneng. Ruang belajar kami saat itu ialah sebuah saung beratapkan seng yang digunakan untuk penimbangan daun teh. Dengan menggelar tikar dan plastik sebagai alas duduk, sekolah perdana kami resmi dimulai.

Kegiatan belajar mengajar dilakukan dari pagi sekitar pukul 9-10 pagi sampai selesai. Gurunya saya seorang dan siswanya pada saat itu hingga 40-an anak. Waktu itu kegiatan belajar mengajar masih dilakukan atas dasar inisiatif saja, belum terkoordinasi dengan sekolah atau lembaga pendidikan terkait.

Kemudian pada tahun 1984 itu saya menghubungi kepala desa Tugu Utara yaitu alm. H. Suherman agar menjadikan sekolah kami sekolah resmi dan mengacu pada kurikulum pemerintah. Tanggapan positif dari kepala desa yaitu dengan mengajak kepala sekolah dari SD terdekat yaitu SDN Ciburial untuk datang ke Rawa Gede.

Pada saat itu kepala sekolah SDN Ciburial H. Edy Setiadi beserta Kepala Desa Tugu Utara datang meninjau ketika kami sedang melangsungkan kegiatan belajar mengajar. Setelah melihat keadaan tersebut mereka tersentuh dan memberikan bantuan pendidikan berupa alat tulis, kursi dan meja untuk belajar, termasuk sekat bambu untuk membuat saung tempat kami belajar menjadi lebih tertutup.

Sekolah saung kami pun akhirnya dijadikan sekolah resmi dengan menginduk ke SDN Ciburial dan diberi status sekolah jauh SDN Ciburial. Siswanya dari daerah sekitar Rawa Gede seperti Cikoneng, dan Cibulao. Jarak dengan SD terdekat yaitu SDN Ciburial lebih dari 20 kilometer dengan jalan terjal khas pegunungan.

Akhirnya kami punya gedung sekolah
Awal mulanya sekolah kami mulai mendapat bantuan dari luar Cisarua terjadi sekitar 1988-1989. Ketika itu serombongan keluarga yang sedang berjalan-jalan menuju air terjun, melihat kami yang sedang belajar dari atas bukit. Rombongan ini adalah keluarga besar H. Jamril dari Jakarta yang kemudian menyerahkan bantuan uang tunai sebesar Rp 2,5 juta. Uang bantuan inilah yang digunakan untuk membangun gedung sekolah pertama kami yang terdiri dari dua ruang kelas dan satu ruang kantor merangkap gudang.

Masing-masing ruang digunakan untuk tiga kelas yaitu kelas 1, 2, dan 3 di ruang pertama. Sisanya kelas 4, 5, dan 6 di ruang kedua. Pembagian kelas di tiap ruang hanya berdasarkan barisan tempat duduk saja. Dan saya masih menjadi satu-satunya pengajar di sekolah ini.

Ketika gedung sekolah berdiri di Rawa Gede, pihak perkebunan teh juga memberikan bantuan honor untuk mengajar sebesar Rp 20.000 tiap bulannya. Sumber pemasukan lainnya saya dapatkan dengan menjadi juru parkir di Jalan Raya Puncak serta menjaga toilet umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Senin pagi saya pulang untuk kembali mengajar hingga hari Sabtu. Begitu rutinitas yang saya lakukan setiap harinya.

Ada kejadian menarik pada sekitar tahun 1996 ketika saya sedang menjadi juru parkir sekaligus membantu membakar jagung. Waktu itu Minggu malam datang rombongan keluarga yang memesan jagung bakar, dan berbincang-bincang dengan saya soal kesibukan saya sehari-hari. Saya katakan selain menjadi juru parkir saya juga seorang guru sekolah dasar di Rawa Gede. Obrolan berlanjut seputar kegiatan mengajar dan sekolah kami tanpa saya tahu siapa lawan bicara saya.

Beberapa minggu kemudian pada hari kerja bakti sekolah datang rombongan Kepala Sekolah dari SD se-Cisarua. Mulanya saya berpikir kalau kedatangan mereka hanya ingin meninjau kegiatan di sekolah kami. Namun tidak diduga, salah seorang dari rombongan menghampiri saya dan bertanya, “Pak Rudi mau tidak saya buatkan sekolah? Tetapi letaknya harus dipindah ke Cikoneng agar menjangkau anak-anak dari Cibulao, Cikoneng, dan Rawa Gede.” Tentu saja ini bukan pertanyaan sulit, dan segera saya jawab mau dan silahkan dipindah ke Cikoneng.

Lalu orang tersebut memperkenalkan diri bahwa ia adalah orang yang pernah berbincang dengan saya di tempat jagung bakar. Dan yang membuat saya lebih terkejut adalah beliau ternyata Udin Syamsudin Camat Cisarua yang belum lama menjabat. “Kapan-kapan kita makan jagung bakar lagi ya,” candanya.

Maka berdirilah sekolah dasar di Cikoneng dengan 3 ruang kelas ditambah ruang kantor. Sekolah ini pun lengkap dengan perangkatnya yaitu guru tambahan serta seorang kepala sekolah. Mulai sejak itu sekolah kami tidak lagi menginduk ke SDN Ciburial namun berdiri sendiri dengan nama SDN Cikoneng.

Pada tahun 2004-2005 kami juga mendapat rehab total dari pemerintah untuk bangunan sekolah. Sekolah kami juga jadi semakin bagus dengan lantai keramik termasuk terasnya, serta sekat antar ruangan sudah menggunakan tembok bata, bukan lagi sekat bambu. Lalu pada 2007 perusahaan perkebunan teh Sumber Sari Bumi Pakuan juga membangunkan gedung tambahan yaitu 2 ruang kelas serta ruang perustakaan.

Pentingnya pendidikan masih terabaikan
Bahagia juga melihat perkembangan yang dilakukan sekolah kami. Dari mulai belajar di saung terbuka hingga menjadi sekolah dengan status mandiri. Tak pernah saya lupakan jasa semua pihak yang terlibat dalam kemajuan sekolah ini. Tanpa bantuan mereka mungkin anak-anak di kawasan perkebunan teh ini tak ada yang semangat sekolah.

Sebagai guru tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat siswa-siswa saya lulus sekolah dengan baik dan melanjutkan sekolah hingga sukses. Dan syukur sekali tidak ada siswa kami yang tidak lulus ujian akhir nasional. Namun begitu saya sedih sekali kalau ada siswa kami yang berhenti sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

Pernah suatu saat ada siswa saya berhenti sekolah hanya beberapa hari menjelang ujian nasional. Padahal hanya tinggal ujian sekali lagi siswa tersebut lulus SD. Setelah saya hubungi orangtuanya mereka menjawab, lebih baik anaknya mencari uang dengan membantu orangtuanya memetik teh. “Biarlah Pak anak juga anak saya. Saya yang kasih makan, saya yang rawat, terserah saya mau jadi apa anak saya ini!”

Mendengar jawaban seperti itu dari orangtua siswa hati saya langsung menangis. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa karena di mata mereka, mempertahankan hidup masih jauh lebih penting ketimbang mengenyam pendidikan. (fajri)

Terusannya...