Saturday, April 28, 2007


Jurnalistik!! Jurnalistik goes marching in...
All that we want to be best number
The big and happy family...

Semangat Jurnalistik!! (by Titis)

Terusannya...

Di Taman Sirat


Amboi!! Kita dekat nan erat
Kala ini di Taman Sirat
Patahan kata bukan terucap
Malah bisu yang mencuat

Ini zaman serba cepat
Andai hendak semua dapat
Berdua kita bukan berempat
Mana bulan tak terlihat

Punjua kau tak cermat
Baik katakan dengan cekat
'Kau ku sayang', lantang kuat
dan ku dengar di hati 'kan berkarat

Cepat!
Tak ada sekat!
Dengan cekat!
Lantang kuat!
Atau... ku damprat!

Terusannya...

Kilometer 29

Kamera yang baru dibelinya dua hari lalu kini sudah setia menemani harinya. Agus memang bukan seorang fotografer handal namun ia sangat mencintai fotografi. Agus betah berlama-lama berada di samping tukang koran, karena di sana ia bisa memandangi foto sampul majalah atau foto headline surat kabar sepuasnya. Kadang ia tertegun ketika menengadah melihat banner iklan yang ukurannya selebar gawang sepakbola hingga kepalanya pening. Pikirnya, memandangi hasil karya foto membantu melupakan perutnya yang membuncit karena terlalu sering ia biarkan hampa.

Sudah sejak lama ia mengidamkan kamera SLR (Single Lens Reflect) untuk menyalurkan hobinya. Baru setelah cukup uang ia kumpulkan jadilah kamera SLR kini menjadi sahabat barunya. Dipandangi lensa bidik dengan sebelah mata dan raut wajah kaku, semenit kemudian senyum di wajahnya mengembang lebar bak payung yang dibuka seketika karena hujan tiba-tiba datang.

Dirasakan bau khas kamera yang berasal dari film 35mm yang biasa mengisi perut kameranya. Dilepaskan lensa 50 mm dari badan kamera, lantas dibolak-balik. Hati-hati dan lembut ia sapu kaca lensa dengan kertas tipis khusus lap lensa, kertas itu sudah kumal karena dipakai berkali-kali. Kurang puas, ia coba meneropong cumulonimbus lewat lensa yang masih terlepas dari badan kamera. Hanya birunya langit yang ia tangkap.

Agus menggantungkan kamera menjuntai di dada kurusnya. Masing-masing tangannya memegang pinggangnya dan dagunya yang tirus ia tarik tinggi-tinggi ke atas. Pelan-pelan ia habiskan udara untuk memenuhi paru-parunya, lalu ia hembuskan lewat mulutnya dengan santai dan setengah terpejam. Ia puas dan bangga karena telah berhasil menimang sebuah kamera, menimang secercah harapan masa depannya.

Agus Hamurta adalah seorang pemulung, usianya hampir tiga puluh tahun. Kulitnya legam bukan hanya terpanggang mentari, lebih-lebih ia jarang mandi. Aroma tubuhnya semerbak meninggalkan bau jijik, serupa dengan tempat sampah yang kerap ia kunjungi. Garis wajahnya kuat dan sorot matanya tajam menunjukkan bahwa ia tipe orang berkemauan keras untuk mewujudkan keinginannya. Jika saja Agus punya kesempatan membersihkan dan merapihkan dirinya rasanya akan banyak gadis yang tertarik olehnya.

Agus mengisi hidup dengan mendatangi tiap tempat sampah beraroma ajaib di sekitar perumahan dekat tempatnya tinggal. Mengorek tempat sampah demi menemukan harta terpendam merupakan kesehariannya, tak peduli tangannya kotor dan menambah bau busuk tubuhnya. Ia lipat dengan baik kardus yang tak terpakai dan ia pipihkan plastik bekas tempat air minum mineral dengan bantuan pahanya yang langsing. Kemudian ditata rapih sedemikian rupa benda-benda tersebut dikereta kerja roda duanya. Daerah jamahannya cukup luas tak terpaku pada satu wilayah tertentu. Bagi Agus ia dapat tinggal di mana dirinya suka.

Barang-barang temuannya ia timbun hingga cukup banyak, butuh empat hari hingga seminggu baru terpenuhi. Kepada bang Topan ia jual kardus dan plastik tersebut. Bang Topan juragan kardus dan plastik bekas langganan Agus. Hanya bang Topan yang berani membayar, meski tipis, lebih tinggi dibanding juragan lain. “Oke, ama lu gue naekin cepek sekilonya Gus!” sambil mengelus-elus jenggotnya yang kecoklatan dan dikepang tunggal.

Uang hasil memulung dipakai untuk membeli nasi putih dengan lauk orek tempe. Hanya sekali dalam sehari ia makan, meski kadang harus membagi dua makanan hari ini untuk keesokan harinya. Meski sulit Agus terus berusaha menyisihkan uang hasil memulung sedikit demi sedikit. Uang lalu disimpan di tas tangan kumal yang tergantung di keretanya. Hingga hampir tujuh tahun tahun kemudian ia memiliki uang yang cukup untuk membeli sebuah kamera SLR bekas dari toko kamera Panorama. Enam ratus lima puluh ribu rupiah harga kamera tersebut. Berarti sekitar seratus ribu pertahun berhasil ia sisihkan dan disimpan di tas yang ia temukan ketika sedang menjalankan operasinya.

Awalnya Agus mengenal dunia fotografi ketika ia menjadi siswa SMU Jalapati sebelas tahun lalu. Sebagai sekolah unggulan SMU Jalapati memiliki beragam kegiatan ekstra kurikuler mulai dari Paskibra, sepakbola, kelompok ilmiah, basket, Pramuka, kelompok pecinta alam, kelompok pemerhati film, kelompok musik, hingga kelompok fotografi. Dan pada fotografi Agus menaruh minat. Dari kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Agus mendapatkan dasar-dasar fotografi, mulai dari pengertian, istilah-istilah, dan teknik-teknik fotografi, hingga pengalaman membuat karya fotografi. Semakin banyak peangalaman yang ia rasakan bersama kelompoknya semakin Agus mencintai fotografi.

Sebenarnya Agus tidak perlu memulung kalau saja dulu ia menuruti nasihat orang tuanya untuk meneruskan pendidikan ke kursi kuliah. Tetapi tamat SMU Agus memilih menganggur dan berfoya-foya menghabiskan uang orang tuanya yang memang kaya. Agus tahu betul posisinya sebagai anak tunggal dari keluarga kaya. Ia biasa menuntut banyak hal yang harus dan pasti segera dituruti orang tuanya. Pernah Agus merajuk tidak mau masuk sekolah karena orang tuanya tidak mau membelikannya sepeda motor 250cc. Padahal baru tiga bulan yang lalu ia dibelikan sepeda motor kelas bebek. Tak sampai tiga hari akhirnya, sepeda motor 250cc menjadi tunggangannya ke sekolah.

Suatu hari Agus yang mencintai dua hal di dunia ini; fotografi dan berfoya-foya, ditinggal kedua orang tuanya tewas karena kecelakaan di jalan. Mobil yang dikendarai orangtua Agus beradu dengan truk yang datang dari arah berlawanan. Selain kelalaian manusia, kondisi jalan yang licin dan berkelok-kelok serta jarak pandang yang sempit terhalang kabut akibat rintikan hujan ditenggarai menjadi penyebab kecelakaan.

Agus yang terbiasa hidup dilayani dan berkecukupan uang tidak bisa menata hidupnya dengan baik. Harta peninggalan orang tuanya habis demi membiayai gaya hidupnya yang selalu berfoya-foya. Hingga sampai pada satu titik ia harus bertahan hidup dengan memulung. Agus terlalu bangga dan tinggi hati untuk meminta bantuan sanak saudaranya. Mungkin juga ia tak punya nyali untuk itu, karena selama ini ia selalu mengacuhkan saudaranya meski mereka dalam keadaan sulit.

Jadilah kini Agus mematut-matut jalanan untuk dijadikan obyek fotonya. Jalanan ini memang istimewa buat Agus. Sisi kiri jalan menjulang angkuh tebing rapuh yang entah kapan bisa saja tiba-tiba longsor. Sisi kanan jalan tebing terjal menganga siap menelan apapun yang jatuh ke dalamnya. Jauh di depan jalanan seperti terputus menghilang ke balik tebing. Sejuknya udara membuat Agus betah berlama-lama di lokasi ini. Hijau pepohonan berbatas biru langit menyamankan mata yang memandangnya. Di sinilah orang tua Agus mengalami kecelakaan.

Agus merekam diam jalanan lewat bidikan kameranya. Ia berusaha mengabadikan kenangan akan orang tuanya melalui saksi bisu yang menjadi objek fotonya. Lewat karyanya Agus ingin mengucapkan rasa terima kasihnya atas apa yang pernah Agus dapatkan dari orang tuanya. Ia menyesal karena tak pernah menunjukkannya ketika orang tuanya masih hidup. Lewat fotonya Agus sekaligus ingin menyatakan rasa sayang untuk pertama kalinya pada mereka.

Lewat fotografi, Agus si Pemulung berusaha menata kembali kehidupannya. Kini Agus telah menemukan dua hal yang dicintainya di dunia ini; fotografi dan masa depannya.

Terusannya...

Masup-masup!

Nah-nah masup juga pan?! Masing ijo jangan dulu di kritik, ntar jadi jiper

Terusannya...